Malangnya Sang Putri Indonesia -1 Artika tengah bersiap untuk pergi. Hari ini adalah jadwal keberangkatannya ke Timika, Papua. Sebagai Putri Indonesia dia memang diharuskan mematuhi kontrak yang sudah dia tandatangani untuk pergi ke daerah daerah yang terpencil. Kunjungannya kali ini merupakan kunjungan pertamanya ke Papua. Ditemani manajernya dan beberapa wartawan, Artika berangkat ke Papua. Setibanya di bandara Timika, Artika sedikit heran dengan sambutan yang diterimanya. Secara protokoler memang tidak ada masalah, tapi dia melihat sesuatu yang ganjil. Pengawalan dari pihak TNI dan Polisi terlihat lebih ketat dari biasanya. "Apa yang terjadi ?", Artika bertanya pada manajernya, seorang perempuan yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya. "Aku tak tahu", Bertha, manajernya menggeleng. "Tunggu di sini." Sambungnya. Dia lalu bergegas mendekati kepala penyambutan. Dari dialah Artika kemudian tahu kalau akhir-akhir ini gerakan separatis OPM makin mengganas meresahkan masyarakat Papua. Tapi Artika tidak mengkhawatirkan hal itu. Dia berusaha bersikap profesional. Dan Artika sendiri selama beberapa hari tidak merasakan adanya gangguan yang membahayakan rombongannya. Dia bahkan mulai jatuh cinta dengan tanah Papua yang masih segar. Pagi hari Artika terlihat berada di lobby hotel Sheraton Timika tempatnya menginap. Dia memakai baju lengan pendek putih dari bahan satin dipadu dengan celana Jeans dan sepatu sneaker putih. Rambutnya yang panjang agak bergelombang diikat ekor kuda. Dari wajahnya terlihat Artika sedang menunggu seseorang. Dan ketika dia melihat Bertha, manajernya datang dari arah pintu masuk utama, wajahnya langsung berubah cerah. Artika bergegas menyongsong Bertha. Langkahnya terlihat sedikit tergesa-gesa. "Bagaimana Kak?", Artika bertanya dengan nada tidak sabar. "Kita boleh pergi ?" Bertha dengan sedikit terengah mangangkat tangannya memegang pundak Artika. "Sepertinya tidak boleh", jawab Bertha dengan tersengal. Artika sontak menampakkan wajah kecewa. "Kenapa?", tanya Artika singkat sambil menatap wajah Bertha meminta kejelasan. "OPM diperkirakan menyerbu daerah-daerah strategis, bahaya kalau kita memaksakan diri", jawab Bertha singkat tapi padat. Tapi jelas jawaban itu tidak memuaskan Artika . Artika diam saja lalu membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Di dalam kamarnya Artika berpikir keras bagaimana caranya bisa pergi ke tempat yang sudah dia rencanakan sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Papua. Akhirnya Artika menyelinap secara diam-diam keluar dari hotel. Dia lalu bertanya pada penduduk lokal bagaimana caranya supaya bisa pergi ke Baliem. Lewat salah satu penduduk di sekitar hotel Artika berhasil menemukan orang yang bisa mengantarnya. Maka tanpa sepengetahuan siapapun, Artika ditemani oleh seorang pemandu menggunakan mobil sewaan pergi ke Baliem. Artika senang sekali akhirnya bisa pergi sesuai dengan rencana. Mungkin Bertha akan marah mengetahui dia pergi tanpa pamit, tapi Artika sudah punya rencana untuk menghubungi Bertha melalui ponselnya. Sepanjang perjalanan Artika terlihat begitu menikmati pemandangan alam Papua yang masih bersih, beda sekali dengan Jakarta yang banyak polusi. Di luar dugaan, pemandu yang merangkap sopir perjalanannya, seorang pemuda Papua asli bernama Tinus mengenalinya. "Dari mana kamu mengenali aku?", tanya Artika senang. Tinus tersenyum mendengar pertanyaan aneh Artika. "Kami memang tinggal di Papua, tapi kami tidak buta informasi", jawab Tinus diplomatis. Seketika Artika merasa malu telah meremehkan pengetahuan orang Papua. Tapi Artika pintar mengubah arah pembicaraan, maka dia tidak lagi merasa bersalah pada Tinus. Dan sepanjang perjalanan keduanya terlibat berbagai pembicaraan. Di tengah keasyikannya menikmati perjalanan tiba-tiba Tinus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Ada apa ni Tinus?", Artika terkejut saat mobilnya berhenti mendadak. Tinus diam saja, wajahnya terlihat menegang. Tatapannya tajam menatap ke arah luar. Dalam keadaan panik Artika berusaha menghubungi Bertha melalui ponsel tapi dia berada di daerah tanpa sinyal, Ponsel tidak ada lagi gunanya di tempat itu. Artika maju mendekati Tinus yang terdiam. Dia melihat ada sebatang pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan. "Ada apa ini..." Artika tidak sempat meneruskan ucapannya ketika dia melihat beberapa orang Papua berseragam militer dengan membawa persenjataan lengkap muncul dari balik pepohonan. Rata-rata bertampang seram dengan rambut dan jenggot tak terawat. Dan orang orang itu serentak mengepung mobil Artika . "Tinus.." Artika mulai dihinggapi rasa takut. "Siapa Mereka..." "OPM", Tinus menjawab singkat. Tinus membuka pintu mobilnya lalu segera melompat keluar dari mobil dan kabur meninggalkan Artika sendirian. Artika kebingungan ditinggal sendiri di mobil. Nalurinya segara mengatakan kalau dia harus menginggalkan tempat itu. Artika lalu berusaha membuka pintu mobilnya, tapi usahanya sia-sia. Beberapa anggota OPM lebih cepat mengepungnya. Salah satu dari mereka yang berbadan tegap dan hitam dengan badan penuh bulu menarik Artika keluar dari mobil. Lalu Artika didorong sampai tersungkur jatuh. Artika berusaha bangkit dan melawan tapi apa dayanya melawan puluhan pria berbadan besar seperti mereka. Satu pukulan di perut Artika menghentikan usahanya. Artika terduduk dan meringis menahan sakit. Perutnya seperti mau pecah. Matanya berkunang-kunang, air matanya mulai meleleh membasahi pipinya yang putih mulus, karena takut dan sakit. Orang Papua yang tadi menariknya keluar dari mobil tersenyum buas memandangi wajah dan seluruh tubuh Artika. "Cantik sekali perempuan ini...", katanya dengan tatapan mata liar. Dia menoleh ke salah satu anak buahnya yang juga tidak kalah sangar. Mereka berbicara dalam bahasa daerah Papua yang sama sekali tidak dipahami Artika. Artika hanya bisa memandangi mereka dengan tatapan mata ketakutan. "Tolong jangan sakiti saya, jangan sakiti saya", Artika menangis ketakutan. Pria Papua tadi justru tertawa. "Kawanku ini bilang kalau kamu adalah Artika si Putri Indonesia itu, benarkah itu?", tanyanya dengan logat Papua yang khas. Artika mengangguk. "Saya Artika, tolong jangan sakiti saya", ujar Artika terbata-bata di sela tangisnya. "Bagus", Pria Papua itu tersenyum. "Kalau begitu pimpinan kami ingin bertemu denganmu." Pria Papua itu lalu memberi perintah untuk mengikat tangan Artika dan menutup matanya. Kemudian secara paksa Artika dinaikkan ke dalam mobilnya sendiri lalu pergi entah ke mana. Artika merasa ini adalah akhir dari hidupnya. Dia menyesal tidak mengikuti saran Bertha. Tapi penyesalan selalu datang terlambat. Karena kalut memikirkan nasib yang akan dialaminya, Artika akhirnya pingsan. Artika baru sadar setelah badannya ditiup hembusan angin dingin yang terasa membekukan. Sontak Artika gelagapan dan kebingungan. Dia melihat di sekelilingnya. Dia berada di dalam sebuah ruangan yang lembab berukuran sedang, sekitar 3 kali 3 meter, dindingnya terbuat dari kayu masif, sedangkan lantainya terbuat dari papan kayu tebal dilapisi sejenis bulu binatang. Bau kain tua segera tercium di hidung Artika. Dia kemudian menyadari kalau dirinya terbaring di atas sebuah ranjang kayu kasar yang dilapisi kasur usang berupa lapisan-lapisan kain tua yang disusun secara rapi. Ranjang berukuran double itu terletak di tengah ruangan, berhimpitan dengan dinding. Tepat di atas ranjang terdapat sebuah jendela besar berteralis baja tanpa daun jendela, hanya ditutupi tirai usang yang terbuka sampai setengahnya, membuat cahaya matahari yang mulai tenggelam leluasa masuk. Sebuah meja dan kursi sederhana yang juga terbuat dari kayu masif terletak di sudut kiri ruangan. Kebingungan Artika terbuyarkan oleh suara derit pintu kayu berat yang terbuka ke arah dalam. Artika serentak menoleh ke arah pintu yang tepat berada di depannya. Dilihatnya sesosok pria Papua bertubuh tinggi besar memasuki ruangan. Wajahnya jauh lebih menyeramkan daripada pria yang menculiknya. Rambutnya gimbal seperti tidak terawat, begitu juga kumis dan jenggotnya. Pria itu hanya memakai celana panjang militer dan sepatu boot tentara dengan pistol terselip di pinggangnya. Pria itu mendekati Artika dan menatapnya dengan tatapan liar. Artika merasa seolah tatapan itu siap menelannya hidup-hidup. "Benar-benar perempuan yang cantik." Pria itu berujar dengan suara berat. "Benarkah kamu Putri Indonesia itu?" tanyanya datar. Artika hanya bisa mengangguk. "Namaku Tiber Wewengko, aku adalah pemimpin tertinggi di sini", katanya memperkenalkan diri. Artika tidak mempedulikan ucapan pria bernama Wewengko itu. "Kenapa kamu menculik saya?" Artika memberanikan diri bicara meskipun diiringi dengan isak tangis. Wewengko tersenyum, dingin. "Tidak ada", jawabnya pendek. Wewengko mendekati Artika. Artika langsung beranjak mundur tapi Wewengko memojokkan dia sampai merapat ke dinding. Wajahnya berada sangat dekat dengan wajah Artika. "Nona benar-benar sangat cantik", kata Wewengko. "Sudah lama saya ingin bertemu dengan Nona, apalagi sejak saya tahu kalau Nona akan ke Papua. Artika tercekat mendengar ucapan Wewengko. Artinya Wewengko tidak buta informasi. "Dan Nona tahu, sudah lama sekali saya tidak merasakan kehangatan wanita, apalagi yang secantik Nona, apakah Nona mau jadi istri saya?", tanya Wewengko. Artika langsung lemas mendengar ucapan itu. Dirinya tidak dapat membayangkan akan diperkosa oleh pria Papua seperti Wewengko. Dia bergidik ngeri membayangkan bila Wewengko menggagahinya. "Jangan mimpi!", Artika secara tidak sadar meludah saking jijiknya. "Hmm.. begitu rupanya", Wewengko menatap ludah yang dikeluarkan Artika. "Sebaiknya Nona tidak berbuat begitu, sekarang ini nasib Nona sepenuhnya ada di tangan saya, dan tidak ada satupun orang yang bisa mengeluarkan Nona dari tempat ini", kata Wewengko dengan dingin. Ucapan itu bagaikan palu godam yang merontokkan keberanian Artika sepenuhnya. Artika sadar dirinya telah sepenuhnya dikuasai oleh gerombolan OPM. Sayup-sayup dari arah luar terdengar suara-suara gaduh seperti nyanyian tradisional Papua. "Nona dengar itu?", tanya Wewengko. "Mereka mengadakan pesta. Dan sebelum pesta itu selesai saya akan pastikan Nona akan menjadi istri saya." Wewengko lalu meninggalkan Artika sendirian. Artika hanya bisa menangis menyesali diri. Dia hanya tersimpuh di lantai, sementara angin dingin Papua terus menerus meniup tubuhnya melalui jendela. Artika menggigil kedinginan, sepertinya Wewengko memang sengaja membiarkannya kedinginan seperti itu sampai malam. Kesunyian terpecahkan saat tiba-tiba suasana kamar menjadi terang-benderang. Cahaya lampu besar yang ada di atas kamar menerangi seisi ruangan. Rupanya meskipun di tengah hutan, Wewengko memiliki peralatan yang cukup modern. Artika mengejapkan matanya membiasakan cahaya masuk ke matanya. Sesaat kemudian Wewengko datang memasuki kamar membawa makanan dan minuman. Yang membuat Artika ngeri, Wewengko masuk hanya dengan mengenakan koteka di kemaluannya tanpa selembarpun benang menutupi tubuhnya. Lalu Wewengko menyodorkan makanan dan minuman itu. "Ini minuman tradisional Papua", kata Wewengko datar. Artika melengos mengetahui menu yang disajikan berupa daging babi dan arak. Semula Artika menolak makanan dan minuman itu, tapi Wewengko memaksanya untuk makan dan minum dan Artika tidak dapat menolak. Dan Wewengkopun mulai melancarkan aksinya, dia berusaha memeluk Artika dari belakang sambil menciumi puncak Artika. Artika meronta dan menjauhi Wewengko. "Jangan sentuh aku bangsat..!", Artika berteriak. Tapi Wewengko yang berbadan tegap langsung mendekapnya dan mulai menelusuri wajah dan leher Artika dengan buas. Artika mencoba meronta dan berusaha untuk tetap sadar tapi sentuhan demi sentuhan Wewengko membuatnya terhanyut. Tanpa sadar Artika mulai mendesah merasakan kenikmatan sentuhan Wewengko. Wewengko makin buas. Dengan paksa dirobeknya baju Artika dan dibuangnya baju itu sehingga sekarang tubuh bagian atas Artika hanya ditutupi oleh BH berwarna putih transparan. Payudaranya yang putih mulus terlihat mencuat menantang. Wewengko menelipkan tangannya yang besar ke dalam mangkuk BH Artika dan mulai meremas-remas payudara Artika. Artika merasakan sebuah sensasi yang sangat hebat melanda tubuhnya, sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya. http://siezhien.wen.ru